Picture: PINTEREST |
"Masih deras?"
Suara hangat Bara mengagetkan Ayra yang tengah berdiri melamun menikmati rinai hujan dan menghirup aroma petrikor di teras kantor.
Pria jangkung ini berdiri di depan Ayra seolah ingin memayungi tubuh gadis itu dari derasnya hujan.
Pria jangkung ini berdiri di depan Ayra seolah ingin memayungi tubuh gadis itu dari derasnya hujan.
"Sepertinya sih masih, sedari tadi gak reda, mana gak bawa jas hujan lagi,"
Ayra setengah mengomel sambil melipat kedua tangannya, mrnghalau dingin.
"Enggak usah buru-buru pulang, memang ada yang khawatir menunggumu di rumah?Paling banter cuma Mama,"
"Enggak usah buru-buru pulang, memang ada yang khawatir menunggumu di rumah?Paling banter cuma Mama,"
Bola mata jenaka Bara menggoda Ayra.
Gadis ini tersenyum kecut mendengar gurauan berbau sindiran Bara.
Tapi Ayra tak sakit hati, wajar bila Bara berkomentar seperti itu.
Bara sahabat sekaligus partner kerjanya yang paling pandai menghapus gundah hatinya.
"Kamu sendiri gak pulang, takut hujan?"
Balas Ayra menantang Bara.
"Kenapa takut? Bukankah hujan selalu menyisakan kenangan? Itu yang kusuka,"
Bara menatap tajam mata bening Ayra.
Mereka berdua terdiam.
Menikmati denting hujan mengalunkan simfoni hati.
Suara klakson mobil mengagetkan mereka, seraut wajah manis meambaikan tangannya dari dalam mobil.
Bara tersenyum lebar membalas lambaian Tari, pelarian cintanya.
"Mau barengan Ay?"
Ayra menggeleng tersenyum datar.
"No thanks Bara. Aku masih sabar kok nuggu hujan reda. Pulanglah, Tari sudah menjemputmu,"
"Ok.Kamu hati-hati di jalan ya Ay,"
Bara menyentuh lengan Ayra dan berlalu menuju mobil Tari, wanita yang baru jadi tambahatan hatinya sebulan setelah Ayra menolak dan mengkhianati dirinya.
Andai kau tahu Ayra, betapa aku masih menyimpan rinduku padamu sederas hujan ini.
Mobil berlalu menembus hujan dan senja yang menyapa.
Ayra menengadahkan tangannya, denting hujan menerpa wajah manisnya.
Dia yang berusaha menyembunyikan bola matanya yang berkaca sesaat setelah Bara berlalu.
Bara maafkan aku, biarkan dustaku memberimu luka. Cukuplah lukaku jadi dukaku.
Ayra terkesiap, saat tangan Bisma, sepupunya menarik dan menggenggamnya.
"Ay, pulang yuk. Malam ini jadwalmu ketemu dokter Surya Wicaksono kan?"
Ujar Bisma menyebut nama dokter Onkologi terkenal di kota mereka
Bara menatap tajam mata bening Ayra.
Mereka berdua terdiam.
Menikmati denting hujan mengalunkan simfoni hati.
Suara klakson mobil mengagetkan mereka, seraut wajah manis meambaikan tangannya dari dalam mobil.
Bara tersenyum lebar membalas lambaian Tari, pelarian cintanya.
"Mau barengan Ay?"
Ayra menggeleng tersenyum datar.
"No thanks Bara. Aku masih sabar kok nuggu hujan reda. Pulanglah, Tari sudah menjemputmu,"
"Ok.Kamu hati-hati di jalan ya Ay,"
Bara menyentuh lengan Ayra dan berlalu menuju mobil Tari, wanita yang baru jadi tambahatan hatinya sebulan setelah Ayra menolak dan mengkhianati dirinya.
Andai kau tahu Ayra, betapa aku masih menyimpan rinduku padamu sederas hujan ini.
Mobil berlalu menembus hujan dan senja yang menyapa.
Ayra menengadahkan tangannya, denting hujan menerpa wajah manisnya.
Dia yang berusaha menyembunyikan bola matanya yang berkaca sesaat setelah Bara berlalu.
Bara maafkan aku, biarkan dustaku memberimu luka. Cukuplah lukaku jadi dukaku.
Ayra terkesiap, saat tangan Bisma, sepupunya menarik dan menggenggamnya.
"Ay, pulang yuk. Malam ini jadwalmu ketemu dokter Surya Wicaksono kan?"
Ujar Bisma menyebut nama dokter Onkologi terkenal di kota mereka
****SELESAI****